Minggu, 17 Mei 2015

Sastra Bahasa Arab



Dalil nahwu ( Al-Sama’)
       I.            PENDAHULUAN
 Ilmu-ilmu bahasa Arab diantaranya adalah ilmu al Qur’an, ilmu al Hadits, ilmu al Ushul al Fiqh ilmu an Nahw dan al Sharf, ilmu al lughah wa Fiqh al Lughah, ilmu Balaghah, ilmu Ushul an Nahw, ilmu al Ashwat, ilmu al Dilalah, ilmu al Ushlub, dan ilmu al Adab.
Namun pemakalah hanya akan membahas salah satu dari ilmu-ilmu itu, yaitu ilmu Ushul al Nahw. Sebagaimana Ushul Fiqh, ushul al Nahw diformulasikan sesudah nahwu. Ushul al Nahw merupakan prinsip-prinsip yang melandasi ilmu nahwu dalam berbagai persoalan dan aflikasinya.[1][1] Ilmu al Ushul al Nahw tidak hanya menyoroti sumber-sumber, dalil-dalil, dan prinsip-prinsip perumusan nahwu sebagai ilmu, melainkan juga mengkaji berbagai perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu dalam memahami fenomena-fenomena bahasa Arab sejak masa Jahiliyah hingga masa pembukuan bahasa, khususnya Nahwu.
    II.            PEMBAHASAN
Al-Suyuti  berpendapat ketika  menuturkan  teks  Imam  al-Razi,  pada  saat berbicara tentang dalil-dalil hukum. Dia berkata : Mengetahui dalil-dalil itu bergantung kepada pengetahuannya tentang nahwu, lughah dan tashrif.
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang pembentukannya mestilah didasarkan atas kepentingan penggunanya, karena bahasa adalah milik masyarakatnya secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh karena itu, tak semestinya seorang individu tertentu menciptakan bahasa di

luar yang diperlukan atau tidak disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada umumnya, mereka tidak memiliki perbedaan bahasa antara satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan kesamaanya.[2]
Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat kriteria :[3]
1.    Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus. Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab kasrah.
2.      Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan seperti bentuk fi’il madi dari kata يذر  dan يدع . Artinya, kedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas, tapi jarang digunakan. Juga seperti kata مبقل dalam perkataan orang Arabمكان مبقل  ‘daerah yang penuh dengan rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas, tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan kataباقل  (baaqil), makaanun baaqilun, bukan makaanun mubqilun.
3.    Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas, seperti kata استصوب  dan استحوذ , sedangkan jika mengikuti qiyas bentuk katanya adalah استصاب  dan استحاذ  tanpa huruf wawu illat.
4.      Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan, seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti kalimat فرس مقوود  dan توب مصوون . Kedua, kata tersebut berasal dari kata dasar قاد  dan صان  yang asalnya قود  dan صون . Menurut qiyas yang standar isim maf’ul-nya ialah مقود  dan مصون , dengan satu wawu saja.
 Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan penggunaannya (al-isti’mal) :[4]
1.      Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan penggunaan dalam arti “umum digunakan namun menyimpang dari segi qiyas”, maka yang menjadi acuan atau yang didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja, kata yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan parameter qiyas, seperti kata استحوذ  dan استصوب. Jadi tidak boleh mengiaskan kata استقام  dan استساغ  misalnya, menjadi استقوم  dan استسوغ.
2.      Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas, maka ikutilah cara orang Arab saja. Namun, lakukan pada kasus lain yang senada atau se-wazan, di antaranya ialah seperti tidak dipakainya kata وذر  dan ودع , sebab orang Arab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita boleh menggunakan kata lain yang senada dengannya, seperti kata وزن  dan وعد
Dalalah oleh Ibnu Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:[5]
1.      Dalalah lafziyyah, yaitu makna yang ditimbulkan oleh lafal atau suara dari kata tersebut, misalnyaضرب  menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau intonasi untuk kata yang bukan berasal dari peniruan suara).
2.       Dalalah shinaiyyah, yaitu makna yang dipengaruhi oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan tersebut . Perbedaan antara kata صابر  dan صبور , yang pertama berarti orang yang sabar, yang kedua berarti orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan oleh perbedaan shighah.
3.        Dalalah ma’nawiyyah, yaitu makna terjadinya pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa.
 III.            PENUTUP
Pada umumnya, dalil-dalil nahwu yang menjadi objek dan perumusan kaidah Ushul al-nahwu dan ilmu bahasa Arab, yaitu: Sama’ Qiyas, dan Istishhab. Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat kriteria :
1.       Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus. Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab kasrah.
2.       Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan seperti bentuk fi’il madi dari kata يذر  dan يدع . Artinya, kedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas, tapi jarang digunakan. Juga seperti kata مبقل dalam perkataan orang Arabمكان مبقل  ‘daerah yang penuh dengan rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas, tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan kataباقل  (baaqil), makaanun baaqilun, bukan makaanun mubqilun.
3.      Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas, seperti kata استصوب  dan استحوذ , sedangkan jika mengikuti qiyas bentuk katanya adalah استصاب  dan استحاذ  tanpa huruf wawu illat.
4.        Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan, seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti kalimat فرس مقوود  dan توب مصوون . Kedua, kata tersebut berasal dari kata dasar قاد  dan صان  yang asalnya قود  dan صون . Menurut qiyas yang standar isim maf’ul-nya ialah مقود  dan مصون , dengan satu wawu saja.

[1] Muhammad Id, Ushul al Nahwi al Arabi, (Kairo: Alam al Kutub, 2006), Cet. V, h. 5.
[2] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman. 1983.Al-Khashais, Hal.224
[3] Ibid,h.97-98
[4] ibid
[5] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009. h. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar